03 Maret 2009

KETIKA KEADILAN MERUPAKAN CITA HUKUM YANG DITINGGALKAN

oleh: Lambok Hutapea,S.H.


Hukum dalam perkembangannya, mendorong para akhli hukum untuk menghasilkan suatu definisi mengenai hukum. Dapat ditemukan bahwa definisi mengenai hukum yang dihasilkan oleh para akhli memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini memiliki alasan bahwa dalam proses menghasilkan definisi tersebut para akhli memiliki sudut pandang yang berbeda. Maksudnya, hukum itu mengikuti perkembagan kehidupan manusia sehingga mempengaruhi pola pikir para akhli dalam membentuk elemen dasar yang mewujudkan definisi mengenai hukum. Pola pikir ini nantinya mengakibatkan unsur-unsur esensial yang membentuk hukum.

Sebagai contoh, disini akan dijabarkan mengenai pandangan yang berbeda tentang hukum dari 2(dua) orang akhli hukum. Ia adalah John Austin. Dalam bukunya The Providence Of Jurisprudence Determined (:1831), ia memiliki pemahaman mengenai hukum yakni law is commands, backed by treat of sanctions, from a sovereign to whom people have a habbit of obedience. Baginya, hukum itu tidak lain memiliki sifatnya yang imperatif dimana didukung oleh adanya sanksi sehingga mengakibatkan setiap orang terikat terhadap hukum. Pandangan Austin menghasilkan bahwa pemberlakuan hukum memiliki sifat yang sepihak. Hal ini memiliki artian bahwa hukum itu merupakan produk dari seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memberlakukan secara menyeluruh dan mengikat.

Lebih lanjut, perbandingan mengenai pemahaman akan hukum ditujukan terhadap pandangan Jean-Jacques Rousseau. Menurutnya, but what, after all, is a law? When I say that the object of laws is always general, i mean the law consider subjects en messe and action.....on this view we at once see that it can no longer be asked whose business it is to make laws, since they are acts of the general will ; nor whether the prince is above the law, since he is a member of the state; nor whether the law can be unjust, since no one is unjust to himself; nor how we can both free and subject to the laws, since they are but register of our wills ( Jean-Jacques Rousseau : The Social Contract, Book II : Chapter 6 ). Secara garis besar pemahamannya mengenai hukum ditujukan oleh adanya suatu pertemuan kehendak masyarakat. Hal ini memiliki makna bahwa kehendak yang dimiliki masing-masing individu dipertemukan dan dipersatukan untuk menghasilkan suatu peraturan yang menjaga ketertiban dalam kehidupan manusia.

Kedua konsep mengenai hukum yang dihasilkan oleh para akhli di atas memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini dilihat pada pandangan yang diutarakan oleh John Austin dan J.J.Rousseau mengenai unsur-unsur dasar dalam membentuk konsep mereka mengenai hukum. Hingga sekarang, dapat ditemukan berbagai perbedaan mengenai pembentuk konsep hukum di antara para akhli hukum. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya mengarah kepada cita hukum ( rechtsidee ) yang sama pada pola pikir para akhli hukum dalam membentuk konsep mengenai hukum. Cita hukum ( rechtsidee ) yang dimaksud, yakni :

§ ketertiban

§ dapat diperhitungkan (predictable)

§ kepastian hukum, dan

§ keadilan.

Cita hukum ini harus memiliki bentuk, baik dalam tataran teoritis hingga pada tataran praktis. Pada tataran teoritis, cita hukum berawal pada tahap interpretasi yang berujung pada tataran praktis, yaitu implementasi. Pada tahap interpretasi, cita hukum ini berawal dari konsep hukum itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur dalam pembentukan hukum yang selanjutnya akan diberlakukan.

Selanjutnya, tahap interpretasi ini berakhir pada tahap implementasi. Pada tahap ini hukum yang telah memiliki suatu bentuk akan diberlakukan kepada masyarakat. Akibatnya, setiap pihak yang berada dalam yurisdiksi hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

Kedua tahap ini yakni interpretasi dan implementasi, memiliki keterkaitan yang sangat erat. Maksudnya, cita hukum sudah harus tampak pada tahap interpretasi sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam tahap implementasi.

Permasalahan yang dapat terjadi bilamana cita hukum itu tidak dapat dicapai baik dalam tataran tersebut di atas. Sebagai contoh, ada kalanya suatu Undang-Undang (UU) tidak sepenuhnya meliputi keseluruhan dari cita hukum yang ada. Selintas mengenai UU Pornografi, memang dirasa dapat mewujudkan suatu ketertiban bagi masyarakat dalam meningkatkan moral yang kemudian tujuan itu mendapatkan suatu bentuk kepastian dalam penegakannya. Akan tetapi, bila dilihat lagi, apakah dengan pemberlakuan UU tersebut dapat menciptakan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang beranekaragam adat ?

Keadilan merupakan permasalahan utama dalam proses pembentukan, pemberlakuan dan penegakan hukum. Keadilan merupakan salah satu bagian dari cita hukum yang paling sulit untuk dicapai. Hal ini dikarenakan bahwa konsep keadilan sangat bersifat abstrak dan relatif. Maksudnya, setiap orang memiliki penilaian yang bersifat otonom dalam mengaplikasikan keadilan.

Hukum yang telah mewujudkan suatu ketertiban, yang dapat diperhitungakan,dan mendapatkan suatu kepastian, tidak begitu saja dengan mudahnya mewujudkan suatu keadilan. Apakah pada keadaan yang demikian, hukum masih memiliki suatu nilai bagi masyarakat? Sunarjati Hartono dalam bukunya “Apakah The Rule Of Law Itu” mengatakan bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan jembatan yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Pendapat dari beliau memandang bahwa terdapat sesuatu yang luhur yang memberi kewajiban kepada hukum untuk mewujudkannya.

Sesuatu yang luhur itu menurut hemat saya ialah keadilan. Ernest Baker dalam bukunya Principles Of Social And Political Theory ( :1831 ) mengemukakan bahwa A law has value......if it has inherent quality of justice. Keadilan memang menjadi satu-satunya bagian dari cita hukum yang sering ditinggalkan. Dengan demikian, hukum yang tidak mewudjukan suatu keadilan akan tidak memiliki suatu nilai (value), baik dalam penerapan maupun dalam penegakannya.


Penulis Merupakan Alumnus Fakultas Hukum Katolik Parahyangan

Tidak ada komentar: