03 Maret 2009

MEMBERANTAS KORUPSI DENGAN MEMAHAMI KORUPSI

Oleh : Lambok Hutapea, SH


PENDAHULUAN

Korupsi merupakan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian pada perekonomian negara. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tidak memberikan suatu definisi yang pasti mengenai tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dalam pasal 2 jo pasal 3 pada UU No 31 Tahun 1999 ditemukan unsur-unsur tindak pidana korupsi. Hal itu mencakup :
• setiap orang, yakni orang perseorangan atau korporasi ;
• dimana mereka melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum ;
• dengan cara penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
• yang dimana perbuatan yang dimaksud mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.

Pengkategorian korupsi sebagai suatu tindak pidana merupakan langkah yang tepat bagi proses pembentukan hukum nasional. Hal ini juga berhubungan dengan pengklasifikasian tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary-crime). Alasannya tidak lain bahwa tindak pidana ini dilakukan oleh pihak yang berada dalam suatu instansi pemerintah yang dimana perbuatan mereka mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara.

Pemberlakuan UU Tipikor tidak begitu saja meningkatkan praktik pemberantasan korupsi. Keadaan yang terjadi (sebelum berlakunya UU Tentang KPK) ialah lemahnya integritas dan kredibilitas jajaran instansi pemerintah hingga pada aparat penegak hukum dalam memberantas praktik korupsi yang terjadi. Hal ini justru mendorong terjadinya perkembangan praktik korupsi yang pada awalnya diharapkan terhadap peningkatan pemberantasan korupsi.

Seiring dengan perkembangan praktik korupsi maka dapat dirasakan kebutuhan akan suatu instansi pemerintah yang dapat melakukan suatu perubahan yang bersifat progresif. Kebutuhan akan perubahan inilah yang mendorong lahirnya suatu lembaga negara yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut dengan KPK). KPK merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi dan wewenang dalam menjalankan pemberantasan tindak pidana korupsi. UU No 30 Tahun 2002 dalam hal menimbang mengatakan bahwa kehadiran KPK sebagai solusi atas belum berfungsinya secara efektif dan efisien pemberantasan tindak pidana korupsi yang sebelumnya ditangani oleh lembaga pemerintah yang berwenang untuk itu.

Dalam sejarahnya, korupsi telah dikenal pada masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). VOC merupakan perusahaan Belanda yang didirikan pada tanggal 20 mei 1602. Perusahaan ini memiliki kekuasaan untuk melakukan praktik monopoli pada aktivitas perdagangan di Asia. Kehadiran VOC dapat dirasakan sebagai awal dari zaman penjajahan bangsa Belanda di Indonesia. Akan tetapi, masa kejayaan VOC tidak berlangsung lama atau dengan kata lain VOC mengalami masa kehancurannya. Hal ini dikarenakan adanya mentalitas korup yang terdapat dalam diri pejabat VOC.

Sejarah di atas dapat dilihat bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan kerugian. Korupsi juga erat kaitannya dengan sikap mentalitas seseorang. Dengan maksud bahwa sikap mental seseorang akan menentukan cara pandangnya terhadap korupsi. Hal ini berhubungan dengan idealisme yang akan diimplementasikan dalam tataran realisme. Sebagai ilustrasi, seseorang yang telah memiliki suatu idealisme terhadap korupsi merupakan suatu perbuatan pidana yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara ketika ia dihadapkan pada suatu kesempatan untuk melakukan hal tersebut ia akan menolaknya.

UU tentan KPK memiliki suatu catatan tersendiri bagi saya. Pada pasal 6 huruf e dapat dilihat bahwa tugas yang diberikan oleh UU kepada KPK sangatlah mulia. Hal ini terletak pada pelaksanaan mengenai pasal tersebut terdapat dalam pasal 13 UU KPK. Menurut pasal tersebut, dirasakan bahwa tugas yang diemban oleh KPK sangat berat dalam mewujudkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas itu memiliki sifat yang preventif dalam membasmi praktik korupsi. Dan memang sudah menjadi suatu keharusan bahwa dalam membasmi praktik korupsi, KPK harus memberikan suatu bentuk pemahaman akan korupsi kepada masyarakat. Maksudnya, KPK juga harus menjadi pihak yang menanamkan suatu kesadaran mengenai bahaya laten korupsi kepada masyarakat yang dapat dilakukan dalam setiap jenjang pendidikan formal dan non-formal.

PEMBAHASAN

Kehadiran KPK telah membawa iklim ke arah penegakan hukum dalam memberantas korupsi. Fakta telah berbicara bahwa beberapa kasus mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara telah mengalami proses pengadilan dan memiliki putusan yang bersifat in-kracht. Hal ini menjadikan KPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang ditakuti oleh lembaga-lembaga negara lainnya. Alasannya tidak lain bahwa tidak ada satupun perkara yang dibawa oleh KPK dinyatakan tidak terbukti dalam hal dugaan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, inikah yang sebenarnya yang dimaksud dengan pemberantasan korupsi?

Menurut UU KPK menyatakan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya kordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan denga peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut mencantumkan berbagai upaya dalam memberantas tindak pidana korupsi. Upaya-upaya ini memiliki sifat tersendiri. Sifat yang dimaksud diadopsi dari teori penyelesaian konflik yang berupa preventif dan represif. Pada sifatnya yang preventif dimaksudkan kepada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Sedangkan sifat yang represif ditekankan pada pengembalian suatu keadaan setelah terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi.

UU KPK memberi suatu interpretasi mengenai sifat represif terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam wewenang yang dimiliki oleh KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam adanya dugaan tindak pidana korupsi. Pengimplementasian hal yang dimaksud sejauh ini telah memiliki arti yang signifikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat represif ini belum dapat dikatakan efektif. Putusan hakim yang berupa penghukuman kepada koruptur yang dinyatakan bersalah tidak mengakibatkan hilangnya praktik korupsi di lembaga pemerintah.

Keberadaan KPK yang hanya mengutamakan penyelesaian secara represif belum dapat dikatakan menuai hasil yang maksimal. Peraturan yang diciptakan begitu ketat tidak sepenuhnya menghilangkan praktik korupsi yang dimana secara silih berganti kasus mengenai dugaan korupsi tidak habis-habisnya menjadi perkara di pengadilan dengan pihak yang berbeda-beda tentunya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan akan kesadaran moral yang dimiliki oleh pejabat negara. Kesadaran moral itu erat kaitannya dengan hati nurani. Menurut E.Y. Kanter dalam bukunya Etika Profesi Hukum (:2001), hati nurani selalu berkenaan dengan situasi yang paling konkret sehingga bila tidak mengikuti hati nurani, seseorang menghancurkan integritas pribadinya dan mengkhianati martabat yang terdalam pada dirinya, menghancurkan otonomi dirinya. Keberadaan hati nurani merupakan pembentuk dari kesadaran hukum. Pada keadaan ini, hukum dipandang bukan lagi sebagai suatu kewajiban yang apabila tidak ditaati memiliki konsekuensi tertentu. Akan tetapi, hukum dipandang sebagai suatu keyakinan terhadap sesuatu hal.

UU Tipikor secara formal memiliki sanksi yang sangat berat bagi pihak yang terbukti melakukannya. Akan tetapi, sanksi tersebut bukanlah menjadi suatu esensi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kesadaran moral dan kesadaran hukum mengenai tindak pidana korupsi merupakan harga mati apabila ingin menhentikan praktik korupsi. Hal ini dapat dicapai melalui pemahaman yang harus dimiliki setiap elemen negara mengenai bahaya laten korupsi. Pemahaman yang dimaksud disini merupakan bentuk preventif yang merupakan fungsi dan wewenang KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Pasal 6 huruf d UU KPK menyatakan bahwa KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Tindakan-tindakan yang berupa pencegahan ini dapat dilihat seperti yang tercantum dalam pasal 13 UU KPK. Pada pasal tersebut terdapat upaya pencegahan tindak pidana korupsi yang dapat dinilai memberikan kontribusi besar dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut yakni menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.

Pada tanggal 2 maret 2007, pendidikan korupsi diadakan di Universitas Katolik Parahyangan. Tujuannya tidak lain menjadikan mahasiwa sebagai training of trainers. Dimana program pelatihan ini memiliki arah berkelanjutan agar peserta pelatihan ini menjadi duta KPK dalam memperkenalkan bahaya laten korupsi di lingkungan pelajar sekolah menengah atas. Penyelenggaraan program pendidikan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat menjadi suatu investasi untuk menghilangkan praktik korupsi di masa depan. Hal ini dilalui misalnya dengan mengadakan pendidikan korupsi dalam kurikulum pelajar tingkat pertama hingga pada tingkat perguruan tinggi. Pemahaman mengenai korupsi tersebut dapat diperkirakan akan membentuk kesadaran moral setiap individu dalam masyarakat. Dengan demikian, fungsi dan wewenang yang diemban oleh KPK dapat benar-benar memiliki nilai dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi.

KESIMPULAN

KPK merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi dan wewenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan cara yang bersifat preventif dan represif. Langkah yang paling tepat dapat dilakukan melalui cara yang bersifat preventif. Hal ini dapat ditempuh salah satunya dengan cara menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.

Program pendidikan antikorupsi yang dilakukan oleh KPK dapat menjadikannya suatu lembaga kemasyarakatan yang berwujud enacted institution (lembaga masyarakat yang sengaja dibentuk) yang kemudian dapat berubah wujudnya menjadi basic institution (lembaga masyarakat yang dianggap penting). Perwujudan ini dapat memiliki pengaruh dalam pemberantasan korupsi. Alasannya bahwa KPK dapat menjadi saluran dalam membangun kesadaran hukum masyarakat mengenai korupsi. Dengan demikian, fungsi dan wewenang KPK memiliki suatu nilai yang lebih berguna dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

KETIKA KEADILAN MERUPAKAN CITA HUKUM YANG DITINGGALKAN

oleh: Lambok Hutapea,S.H.


Hukum dalam perkembangannya, mendorong para akhli hukum untuk menghasilkan suatu definisi mengenai hukum. Dapat ditemukan bahwa definisi mengenai hukum yang dihasilkan oleh para akhli memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini memiliki alasan bahwa dalam proses menghasilkan definisi tersebut para akhli memiliki sudut pandang yang berbeda. Maksudnya, hukum itu mengikuti perkembagan kehidupan manusia sehingga mempengaruhi pola pikir para akhli dalam membentuk elemen dasar yang mewujudkan definisi mengenai hukum. Pola pikir ini nantinya mengakibatkan unsur-unsur esensial yang membentuk hukum.

Sebagai contoh, disini akan dijabarkan mengenai pandangan yang berbeda tentang hukum dari 2(dua) orang akhli hukum. Ia adalah John Austin. Dalam bukunya The Providence Of Jurisprudence Determined (:1831), ia memiliki pemahaman mengenai hukum yakni law is commands, backed by treat of sanctions, from a sovereign to whom people have a habbit of obedience. Baginya, hukum itu tidak lain memiliki sifatnya yang imperatif dimana didukung oleh adanya sanksi sehingga mengakibatkan setiap orang terikat terhadap hukum. Pandangan Austin menghasilkan bahwa pemberlakuan hukum memiliki sifat yang sepihak. Hal ini memiliki artian bahwa hukum itu merupakan produk dari seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memberlakukan secara menyeluruh dan mengikat.

Lebih lanjut, perbandingan mengenai pemahaman akan hukum ditujukan terhadap pandangan Jean-Jacques Rousseau. Menurutnya, but what, after all, is a law? When I say that the object of laws is always general, i mean the law consider subjects en messe and action.....on this view we at once see that it can no longer be asked whose business it is to make laws, since they are acts of the general will ; nor whether the prince is above the law, since he is a member of the state; nor whether the law can be unjust, since no one is unjust to himself; nor how we can both free and subject to the laws, since they are but register of our wills ( Jean-Jacques Rousseau : The Social Contract, Book II : Chapter 6 ). Secara garis besar pemahamannya mengenai hukum ditujukan oleh adanya suatu pertemuan kehendak masyarakat. Hal ini memiliki makna bahwa kehendak yang dimiliki masing-masing individu dipertemukan dan dipersatukan untuk menghasilkan suatu peraturan yang menjaga ketertiban dalam kehidupan manusia.

Kedua konsep mengenai hukum yang dihasilkan oleh para akhli di atas memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini dilihat pada pandangan yang diutarakan oleh John Austin dan J.J.Rousseau mengenai unsur-unsur dasar dalam membentuk konsep mereka mengenai hukum. Hingga sekarang, dapat ditemukan berbagai perbedaan mengenai pembentuk konsep hukum di antara para akhli hukum. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya mengarah kepada cita hukum ( rechtsidee ) yang sama pada pola pikir para akhli hukum dalam membentuk konsep mengenai hukum. Cita hukum ( rechtsidee ) yang dimaksud, yakni :

§ ketertiban

§ dapat diperhitungkan (predictable)

§ kepastian hukum, dan

§ keadilan.

Cita hukum ini harus memiliki bentuk, baik dalam tataran teoritis hingga pada tataran praktis. Pada tataran teoritis, cita hukum berawal pada tahap interpretasi yang berujung pada tataran praktis, yaitu implementasi. Pada tahap interpretasi, cita hukum ini berawal dari konsep hukum itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur dalam pembentukan hukum yang selanjutnya akan diberlakukan.

Selanjutnya, tahap interpretasi ini berakhir pada tahap implementasi. Pada tahap ini hukum yang telah memiliki suatu bentuk akan diberlakukan kepada masyarakat. Akibatnya, setiap pihak yang berada dalam yurisdiksi hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

Kedua tahap ini yakni interpretasi dan implementasi, memiliki keterkaitan yang sangat erat. Maksudnya, cita hukum sudah harus tampak pada tahap interpretasi sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam tahap implementasi.

Permasalahan yang dapat terjadi bilamana cita hukum itu tidak dapat dicapai baik dalam tataran tersebut di atas. Sebagai contoh, ada kalanya suatu Undang-Undang (UU) tidak sepenuhnya meliputi keseluruhan dari cita hukum yang ada. Selintas mengenai UU Pornografi, memang dirasa dapat mewujudkan suatu ketertiban bagi masyarakat dalam meningkatkan moral yang kemudian tujuan itu mendapatkan suatu bentuk kepastian dalam penegakannya. Akan tetapi, bila dilihat lagi, apakah dengan pemberlakuan UU tersebut dapat menciptakan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang beranekaragam adat ?

Keadilan merupakan permasalahan utama dalam proses pembentukan, pemberlakuan dan penegakan hukum. Keadilan merupakan salah satu bagian dari cita hukum yang paling sulit untuk dicapai. Hal ini dikarenakan bahwa konsep keadilan sangat bersifat abstrak dan relatif. Maksudnya, setiap orang memiliki penilaian yang bersifat otonom dalam mengaplikasikan keadilan.

Hukum yang telah mewujudkan suatu ketertiban, yang dapat diperhitungakan,dan mendapatkan suatu kepastian, tidak begitu saja dengan mudahnya mewujudkan suatu keadilan. Apakah pada keadaan yang demikian, hukum masih memiliki suatu nilai bagi masyarakat? Sunarjati Hartono dalam bukunya “Apakah The Rule Of Law Itu” mengatakan bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan jembatan yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Pendapat dari beliau memandang bahwa terdapat sesuatu yang luhur yang memberi kewajiban kepada hukum untuk mewujudkannya.

Sesuatu yang luhur itu menurut hemat saya ialah keadilan. Ernest Baker dalam bukunya Principles Of Social And Political Theory ( :1831 ) mengemukakan bahwa A law has value......if it has inherent quality of justice. Keadilan memang menjadi satu-satunya bagian dari cita hukum yang sering ditinggalkan. Dengan demikian, hukum yang tidak mewudjukan suatu keadilan akan tidak memiliki suatu nilai (value), baik dalam penerapan maupun dalam penegakannya.


Penulis Merupakan Alumnus Fakultas Hukum Katolik Parahyangan